Mengapa
ruang terbuka hijau di Bali semakin berkurang dari tahun ke tahun?
Bali adalah sebuah pulau di sebelah timur pulau Jawa dan di sebelah
barat pulau Lombok. Terdiri atas beberapa pulau, yaitu Pulau Bali, Pulau Nusa
Penida, Pulau Nusa Ceningan, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Serangan, dan
Pulau Menjangan. Luas wilayah Pulau Bali secara keseluruhan 5.632,86 km2 dan
jumlah penduduknya kurang lebih 3, 7 – 4 juta jiwa (Badan Pusat Statistik
Provinsi Bali, 2012).
Bali adalah ikon pariwisata Indonesia di mata dunia. Bali merupakan
pusat pariwisata di Indonesia dan juga sebagai salah satu daerah tujuan wisata
terkemuka di dunia. Bali dikenal para wisatawan karena memiliki potensi alam
yang amat indah antara lain, iklim yang tropis, hutan yang hijau, gunung,
danau, sungai, sawah serta pantai indah dengan beragam pasir putih dan hitam.
Selain itu, Bali lebih dikenal juga karena perpaduan alam dengan manusia serta
adat kebudayaannya yang unik, yang berlandaskan pada konsep keserasian dan
keselarasan yang telah mewujudkan suatu kondisi estetika yang ideal dan bermutu
tinggi.
Meskipun Bali sebuah pulau kecil yang luasnya hanya 0,29% dari luas
Nusantara (5.632,86 km2), namun memiliki semua unsur lengkap di dalamnya, mulai
dari empat buah danau, ratusan sungai, gunung dan kawasan hutan yang membentang
di pesisir utara dari barat ke timur. Wisatawan mancanegara yang berulang kali
menghabiskan liburan di Pulau “Seribu Pura” tidak pernah merasa bosan dan
jenuh, karena selalu menemukan suasana baru serta atraksi yang unik dan menarik
untuk dinikmati.
Pariwisata sudah menjadi nafas dan urat nadi bagi Bali. Ini terjadi
karena pariwisata dijadikan sebagai tulang punggung ekonomi, akan tetapi
pariwisata bagai pisau bermata dua. Pariwisata memang penuh paradoks dan ironi.
Terlebih dengan pemanfaatan kebudayaan sebagai modal utama dalam pengembangan
pariwisata. Seringkali dikatakan pariwisata sebagai senjata kapitalis untuk
menghancurkan budaya itu sendiri namun tidak sedikit juga dikatakan sebagai
wahana pelestari budaya.
Pariwisata di Bali adalah pariwisata budaya, yang mengekpos budaya Bali
sebagai produk utama. Interaksi panjang antara orang Bali dan wisatawan telah
menghasilkan akulturasi, membuat orang Bali hidup dalam dua dunia, dunia
tradisional dan dunia pariwisata. Namun sejajar dengan pergeseran arti
Pariwisata Budaya, kita juga menyaksikan pergeseran dalam urutan prioritas. Hal
yang kini lebih diperhatikan pemangku kebijakan adalah bagaimana memanfaatkan
budaya demi pariwisata, bukan lagi menilai dampak pariwisata terhadap
kebudayaan mereka.
Banyaknya villa dan hotel yang melanggar sempadan pantai dan jalur
hijau, menunjukkan bahwa para pemangku kebijakan belum memahami konsep
pembangunan pariwisata yang sudah dibuat sejak pertengahan tahun 1970. Bali
jika bercermin dari hasil penelitian dan pengkajian SCETO, konsultan pariwisata
dari Prancis tahun 1975, di Pulau Bali maksimal dibangun 24.000 kamar hotel
berbintang untuk menjaga daya dukung Bali. Namun kenyataannya di Bali kini
telah dibangun 55.664 kamar hotel
berbintang atau dua kali lipat daya dukung Bali. jumlah kunjungan wisatawan ke
Bali mencapai 2.893.074 orang. Kendati angka kunjungan cukup besar, namun
tingkat hunian kamar (THK) hotel di Bali, bisa dikatakan fluktuatif. Tjokorda
Oka Artha Ardhana Sukawati, Ketua BPD Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia
(PHRI) Bali, mengatakan kunjungan wisatawan tidak diikuti dengan meningkatnya
tingkat hunian ini disebabkan menurunnya length of stay atau lama
tinggal dan jumlah kamar yang
meningkat sehingga supply dan demand tidak
seimbang.
Begitu pula halnya dengan pembangunan villa di tengah sawah yang ada di
Bali. Tentu saja hal tersebut akan berdampak terhadap berkurangnya Ruang Terbuka Hijau sebagai resapan air hujan dan juga pada pemotongan
jalur air. Air yang seharusnya untuk subak serta pertanian pada akhirnya habis
untuk puluhan hingga ratusan vila di satu tempa. Disamping pembangunan villa dan hotel, kurangnya laha
hijau juga diakibatkan olehb eksploitasi
pariwisata secara berlebihan sehingga bermuara pada alih fungsi lahan hijau.
Filosofi Tri Hita Karana seakan tidak lagi menjadi pedoman utama dalam
pembangunan pariwisata di Bali. Wisatawan mancanegara pada dasarnya datang
berlibur ke Bali untuk melihat alam dan budaya masyarakat Bali yang tidak dapat
dijumpai di negara asal mereka. Wisatawan datang untuk melihat sistem subak,
sawah terasering, serta pemandangan alam yang begitu luar biasa. Di era otonomi
daerah ini, para pemangku kebijakan di Bali seyogyanya tidak hanya memikirkan
pendapatan asli daerah (PAD) semata, yang salah satunya diperoleh dari
pemberian izin pembangunan hotel, vila dan rumah makan di lokasi-lokasi yang
seharusnya tetap dibiarkan hijau. Agar Ruang
Terbuka Hijau tetap lestari untuk kelangsungan pariwisata Bali. Jadi kedua aspek utama yang menjadi penyebab utama
berkurangnya lahan hijau di Bali yaitu :
1.
Pembangunan-pembangunan Villa dan
Hotel-Hotel di daerah hijau ataupun di daerah persawahan, persawahan yang
mustinya menjadi penopang pariwisata sekarang sudah hampir habis menjadi sarana
akomodasi sehingga menjadi Eksploitasi pariwisata secara berlebihan dan bermuara
pada alih fungsi lahan hijau yang berakibat pada Berkurangnya Ruang Terbuka Hijau Di Bali.
2.
Kurangnya perhatian didinas
perizinan di segi peninjauan tempat Pembangunan Hotel-hotel dan Villa-villa di
Bali, sehingga pertumbuhan pembangunan hotel dan villa di Lahan Hijau / Ruang Terbuka
Hijau begitu pesat dari tahun ke tahun. Yang berakibat pada berkurangnya
atau punahnya lahan hijau sebagai Ruang terbuka hijau di Bali.
No comments:
Post a Comment