Translate

Friday 25 January 2019

Ruang Terbuka Hijau Berkurang, Mengapa? Bali banyak Villa Hotel


Mengapa ruang terbuka hijau di Bali semakin berkurang dari tahun ke tahun?
Bali adalah sebuah pulau di sebelah timur pulau Jawa dan di sebelah barat pulau Lombok. Terdiri atas beberapa pulau, yaitu Pulau Bali, Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Ceningan, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Serangan, dan Pulau Menjangan. Luas wilayah Pulau Bali secara keseluruhan 5.632,86 km2 dan jumlah penduduknya kurang lebih 3, 7 – 4 juta jiwa (Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2012).
Bali adalah ikon pariwisata Indonesia di mata dunia. Bali merupakan pusat pariwisata di Indonesia dan juga sebagai salah satu daerah tujuan wisata terkemuka di dunia. Bali dikenal para wisatawan karena memiliki potensi alam yang amat indah antara lain, iklim yang tropis, hutan yang hijau, gunung, danau, sungai, sawah serta pantai indah dengan beragam pasir putih dan hitam. Selain itu, Bali lebih dikenal juga karena perpaduan alam dengan manusia serta adat kebudayaannya yang unik, yang berlandaskan pada konsep keserasian dan keselarasan yang telah mewujudkan suatu kondisi estetika yang ideal dan bermutu tinggi.
Meskipun Bali sebuah pulau kecil yang luasnya hanya 0,29% dari luas Nusantara (5.632,86 km2), namun memiliki semua unsur lengkap di dalamnya, mulai dari empat buah danau, ratusan sungai, gunung dan kawasan hutan yang membentang di pesisir utara dari barat ke timur. Wisatawan mancanegara yang berulang kali menghabiskan liburan di Pulau “Seribu Pura” tidak pernah merasa bosan dan jenuh, karena selalu menemukan suasana baru serta atraksi yang unik dan menarik untuk dinikmati.
Pariwisata sudah menjadi nafas dan urat nadi bagi Bali. Ini terjadi karena pariwisata dijadikan sebagai tulang punggung ekonomi, akan tetapi pariwisata bagai pisau bermata dua. Pariwisata memang penuh paradoks dan ironi. Terlebih dengan pemanfaatan kebudayaan sebagai modal utama dalam pengembangan pariwisata. Seringkali dikatakan pariwisata sebagai senjata kapitalis untuk menghancurkan budaya itu sendiri namun tidak sedikit juga dikatakan sebagai wahana pelestari budaya.
Pariwisata di Bali adalah pariwisata budaya, yang mengekpos budaya Bali sebagai produk utama. Interaksi panjang antara orang Bali dan wisatawan telah menghasilkan akulturasi, membuat orang Bali hidup dalam dua dunia, dunia tradisional dan dunia pariwisata. Namun sejajar dengan pergeseran arti Pariwisata Budaya, kita juga menyaksikan pergeseran dalam urutan prioritas. Hal yang kini lebih diperhatikan pemangku kebijakan adalah bagaimana memanfaatkan budaya demi pariwisata, bukan lagi menilai dampak pariwisata terhadap kebudayaan mereka.
Banyaknya villa dan hotel yang melanggar sempadan pantai dan jalur hijau, menunjukkan bahwa para pemangku kebijakan belum memahami konsep pembangunan pariwisata yang sudah dibuat sejak pertengahan tahun 1970. Bali jika bercermin dari hasil penelitian dan pengkajian SCETO, konsultan pariwisata dari Prancis tahun 1975, di Pulau Bali maksimal dibangun 24.000 kamar hotel berbintang untuk menjaga daya dukung Bali. Namun kenyataannya di Bali kini telah dibangun 55.664  kamar hotel berbintang atau dua kali lipat daya dukung Bali. jumlah kunjungan wisatawan ke Bali mencapai 2.893.074 orang. Kendati angka kunjungan cukup besar, namun tingkat hunian kamar (THK) hotel di Bali, bisa dikatakan fluktuatif. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, Ketua BPD Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, mengatakan kunjungan wisatawan tidak diikuti dengan meningkatnya tingkat hunian ini disebabkan menurunnya length of stay atau lama tinggal dan jumlah kamar yang meningkat sehingga supply dan demand tidak seimbang.
Begitu pula halnya dengan pembangunan villa di tengah sawah yang ada di Bali. Tentu saja hal tersebut akan berdampak terhadap berkurangnya Ruang Terbuka Hijau sebagai resapan air hujan dan juga pada pemotongan jalur air. Air yang seharusnya untuk subak serta pertanian pada akhirnya habis untuk puluhan hingga ratusan vila di satu tempa. Disamping  pembangunan villa dan hotel, kurangnya laha hijau juga diakibatkan olehb  eksploitasi pariwisata secara berlebihan sehingga bermuara pada alih fungsi lahan hijau.
Filosofi Tri Hita Karana seakan tidak lagi menjadi pedoman utama dalam pembangunan pariwisata di Bali. Wisatawan mancanegara pada dasarnya datang berlibur ke Bali untuk melihat alam dan budaya masyarakat Bali yang tidak dapat dijumpai di negara asal mereka. Wisatawan datang untuk melihat sistem subak, sawah terasering, serta pemandangan alam yang begitu luar biasa. Di era otonomi daerah ini, para pemangku kebijakan di Bali seyogyanya tidak hanya memikirkan pendapatan asli daerah (PAD) semata, yang salah satunya diperoleh dari pemberian izin pembangunan hotel, vila dan rumah makan di lokasi-lokasi yang seharusnya tetap dibiarkan hijau. Agar Ruang Terbuka Hijau tetap lestari untuk kelangsungan pariwisata Bali.  Jadi kedua aspek  utama yang menjadi penyebab utama berkurangnya lahan hijau di Bali yaitu :
1.      Pembangunan-pembangunan Villa dan Hotel-Hotel di daerah hijau ataupun di daerah persawahan, persawahan yang mustinya menjadi penopang pariwisata sekarang sudah hampir habis menjadi sarana akomodasi sehingga menjadi Eksploitasi pariwisata secara berlebihan dan bermuara pada alih fungsi lahan hijau yang berakibat pada Berkurangnya Ruang Terbuka Hijau Di Bali.
2.      Kurangnya perhatian didinas perizinan di segi peninjauan tempat Pembangunan Hotel-hotel dan Villa-villa di Bali, sehingga pertumbuhan pembangunan hotel dan villa di Lahan Hijau / Ruang Terbuka Hijau begitu pesat dari tahun ke tahun. Yang berakibat pada berkurangnya atau punahnya lahan hijau sebagai Ruang terbuka hijau di Bali.

No comments:

Post a Comment