Translate

Sunday 8 June 2014

Balinese Fashion - Ini adalah BALI

Bali's Fashion original 



       Tidak perlu panjang lebar kawan, ini merupakan pakian adat Bali yang merupakan pakian khusus yang di pakai untuk melakukan upacara adat maupun agama di BALI.
selanjutnya busana yang di pakai di bawah ini merupakan busana yang sama tanpa adanya ikat kepala atau udeng, busana ini juga sering di pakai dalam hal membantu kerabat ataupun orang2 dekat melakukan kegiatan persiapan sarana dan prasarana melakukan upacara. Ini adalah BALI
 


Saturday 7 June 2014

Kajeng Kliwon

 Kajeng Kliwon
Upacara Kajeng Kliwon diperingati setiap 15 hari sekali yaitu pada saat pertemuan Triwara Kajeng dengan Pancawara Kliwon. Kajeng Kliwon termasuk dalam upacara Dewa Yadnya, Dewa Yadnya sendiri mempunyai arti upacara korban suci/persembahan yang tulus ikhlaskepada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan seluruh manifestasi- Nya.
Umat Hindu di Bali mempercayai Kajeng kliwon merupakan hari suci dan keramat yang harus diupacarai. Setiap 210 hari ada hari kajeng Kliwon khusus yang disebut Pemelastali atau Watugunung runtuh.
Kajeng kliwon  merupakan hari pemujaan terhadap Sanghyang Siwa yang diyakini pada hari tersebut Sang Hyang Siwa bersemadi. Pada hari kajeng kliwon umat Hindu di Bali menghaturkan sesajen dan persembahan kepada Sang Hyang Dhurga Dewi, sedangkan di tanah, sesajen dan persembahan dihaturkan kepada Sang Bhuta Bucari, Sang Kala Bhucari dan Sang Durgha Bucari.
Sesajen yang dipersembahkan hampir sama dengan upacara kliwon yang dilakukan pada hari Kliwon biasa, hanya saja sesajen pada Kajeng Kliwon ini ditambah dengan nasi kepel lima warna, yaitu merah, putih, hitam, kuning dan coklat, beberapa bawang putih dan tuak/arak berem. pada bagian atas, di ambang pintu gerbang harus dihaturkan canang burat wangi dan canang yasa. Dengan sesajen yang dipersembahkan ini  diharapkan rumah tangga dan anggota keluarga mendapatkan keselamatan selain itu juga sebagai ungkapan rasa terima kasih atas apa yang telah diberikan Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).
Umat Hindu Bali tetap taat menjalankan adat dan Tradisi agar keseimbanagn alam terus lestari.

Thursday 6 February 2014

Canang Sebagai Sarana Bakti - Hindu BALI

Sebuah persembahan kecil bunga dan / atau uang Ditempatkan di nampan persegi kecil anyaman dari daun kelapa. "Canang" Mengacu pada tray, sementara "sari" Mengacu pada "esensi" dari korban yang Mungkin sejumlah kecil uang Ditempatkan di atas.

 
Canang sari Dapat ditemukan di seluruh pulau, kuil di rumah kecil, di kuil-kuil desa, bahkan di tanah! (Untuk langkah pada satu sengaja bukanlah pelanggaran mengerikan, jadi jangan cemas.)

Canang sari yang ditawarkan  setiap pagi oleh Bali  untuk menunjukkan rasa terima kasih kepada pencipta (Sang Hyang Widi Wasa). Canang sari memerlukan sedikit usaha untuk menciptakan, que menambahkan makna pengorbanan yang dibuat.


Canang sari yaitu inti dari pikiran dan niat yang suci sebagai tanda bhakti/hormat kepada Hyang Widhi ketika ada kekurangan saat sedang menuntut ilmu kerohanian (lontar Mpu Lutuk Alit).
Berbicara masalah budaya Bali, tidak akan pernah terlepas dari agama Hindu yang dianut mayoritas masyarakat Bali. Dalam suatu konsep agama Hindu dalam mempersiapkan sarana persembahyangan, yang antara lain : air, api, bunga, buah, daun. Dalam budaya Bali, konsep ini kemudian dipraktekkan dalam wujud seni. Salah satunya adalah keanekaragaman bentuk sesajen.
BANTEN adalah Weda, sama halnya dengan mantra. Ketika umat tidak mampu merapalkan mantra Weda dengan baik, sebagai bentuk bukti syukur umat dapat membuktikannya dengan menghaturkan sesajen atau banten yang baik sesuai dengan ajaran Weda. Melalui banten inilah sebagai penolong manusia menghubungkan antara yang dipuja dengan yang memuja (Rai Sudarta, 2001:58).

Ida Bagus Sudarsana dalam bukunya yang berjudul Himpunan Tetandingan Upakara Yadnya menyebutkan dalam pelaksanaan upacara harus ada tiga unsur yakni bunga, air dan api, maka dalam pelaksanaan upacara kuantitas yang terkecil dari sarana yang dibutuhkan adalah berupa sarana yang merupakan inti atau kanista yang disebut dengan canang 
Canang  berasal dari dua suku kata “Ca” yang berarti indah dan “Nang” yang diartikan sebagai tujuan yang dimaksud sesuai dengan kamus Kawi/Jawa Kuno (Sudarsana, 2010:1). Sari berarti inti atau sumber.
Dengan demikian maksud dan tujuan canang adalah sebagai sarana bahasa Weda untuk memohon keindahan  kekuatan Widya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa  beserta Prabhawa (manifestasi) Nya secara skala maupun niskala. Canang merupakan upakara yang penting bagi umat Hindu khususnya di Bali. 
canang sudah umum dipakai sebagai sarana persembahyangan, tetapi masih ada umat yang belum memahami maknanya. Canang dalam bahasa Jawa kuno awalnya berarti sirih, sehingga di Bali ada istilah pecanangan yang isinya sirih, gambir, pamor, tembakau, dan buah pinang.
Di Bali canang disusun menjadi sebuah sarana persembahyangan yang bahan intinya yakni peporosan. Peporosan dibuat dari daun sirih, kapur, gambir dan buah pinang. ''Sirih pada zaman dulu diberikan sebagai penghormatan terhadap para tamu. Bahkan, sampai sekarang sirih memiliki arti penting dalam sebuah upacara di Bali dan juga masih disuguhkan kepada tamu
Karena dalam kesehariannya umat Hindu selalu menghaturkan canang sari sebagai wujud sujud bakti kepada Sang Hyang Widhi. Selain itu canang sari merupakan sarana upakara yang paling sederhana namun sangatlah penting. Dalam Bhagawad Gita IX.26, dikatakan
patram puspam phalam toyam
yo me bhaktya prayacchati
tat aham bhakty-upahrtam
asnami prayatatmanah
Artinya :
siapapun yang dengan sujud bhakti kehadapan-Ku mempersembahkan sehelai daun, sebiji buah-buahan,seteguk air, aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci
Jika dicermati petikan Sloka Bhagawad Gita tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan canang sari merupakan sarana upacara yang sudah cukup lengkap walau dalam skala kecil, karena isi canang umumnya terdiri dari daun,bunga, buah, dan biji yang semua bahan itu memiliki nilai filosofi masing-masing.
Canang dan upakara yang lain merupakan pengejahwantahan Weda yang lahir dari konsep Yadnya, Kata Yadnya berasal dari bahasa Sansekerta yakni Yaj yang berarti korban pemujaan. Jadi, Yadnya berarti korban suci (Made Ngurah, 2005:147). Jenis yadnya dibedakan menjadi lima yang disebut dengan Panca Yadnya yang terdiri dari Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, Manusia Yadnya dan Butha Yadnya.
Dalam konteks ritual upacara inilah yang melahirkan konsep upakara. Upakara yaitu bahan atau material yang akan menjadi wujud dalam persembahan itu. Berdasarkan besar kecilnya upakara yang digunakan yadnya dibedakan menjadi tiga yaitu nistha ( tingkat kecil), Madya ( tingkat menengah), Utama ( tingkat besar). Walaupun terbagi menjadi tiga tingkatan namun dari segi kualitas ketiganya tidak ada perbedaan, sepanjang dalam pelaksanaannya didasari dengan ketulusan dan kesucian hati. Begitu pula dengan canang walau merupakan upakara yang paling sederhana dibanding upakara yang lain namun dalam konteks yadnya, canang tetap meupakan pengorbanan suci sebagai wujud syukur dan bakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi. Arti dan makna simbolik itu terkandung baik dari bentuk maupun bahan yang digunakan dalam pembuatan upakara tersebut yang keseluruhannya merupakan simbol-simbol ketuhanan.
Sarana upacara atau bebantenan di Bali, sesungguhnya tidak hanya hiasan belaka. Tetapi, di dalamnya sarat makna simbolis. Pada umumnya, sarana upakara tersebut sebagai media bagi umat untuk menghubungkan diri dengan Sang Pencipta.
Canang sari adalah suatu Upakāra /banten yang selalu menyertai atau melengkapi setiap sesajen/persembahan, segala Upakāra yang dipersiapkan belum disebut lengkap kalau tidak di lengkapi dengan canang sari, begitu pentingnya sebuah canang sari dalam suatu Upakāra /bebanten.
Canang sari dalam persembahyangan penganut Hindu Bali adalah kuantitas terkecil namun inti (kanista=inti). Kenapa disebut terkecil namun inti, karena dalam setiap bebantenan apa pun selalu berisi Canang Sari. Canang sari sering dipakai untuk persembahyangan sehari-hari di Bali. Canang sari juga mengandung salah satu makna sebagai simbol bahasa Weda untuk memohon kehadapan Sang Hyang Widhi yaitu memohon kekuatan Widya (Pengetahuan) untuk Bhuwana Alit maupun Bhuwana Agung. 
Tidak itu saja, bahan lainnya seperti ceper yang berbentuk segi empat melambangkan catur purusa artha dan taledan atau tapak dara melambangkan keharmonisan serta uras sari lambang keheningan pikiran atau keteguhan pikiran. ''Jadi canang itu adalah wujud persembahan kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Tri Murti. Umat memohon anugerah kepada Beliau agar mampu mencapai tujuan hidup yakni catur purusa artha dengan selamat,'' katanya. Sementara bunga lambang kesucian hati dan lambang kasih sayang. ''Bahkan, canang itu inti pokok semua banten yang lain,
Komponen canang sari :
  • Daun janur sebagai alas;
  • Porosan (sebentuk kecil daun janur kering yang berisi kapur putih);
  • Seiris pisang;
  • Seiris tebu:
  • Boreh miik (sejenis bubuk berbau wangi);
  • Kekiping (sejenis kue dari ketan yang kecil dan tipis);
  • Di atasnya diletakkan bunga beraneka ragam (umumnya berupa warna : putih, kuning, merah, hijau);
  • sesari  atau uang

Saturday 25 January 2014

Melasti dalam Hindu Bali

Upacara Suci Melasti adalah upacara yadnya yang bermakna untuk mensucikan diri secara lahir dan bathin yaitu :

  • untuk dapat meningkatkan keheningan pikiran,
  • dan juga dilaksanakan untuk kesucian jagat raya ini yang disimbolisasikan dengan labuh gentuh dengan labuhan sesaji ke laut serta,
  • mesucikan seluruh arca, pratima, nyasa, pralingga sebagai wujud atau sthana Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasi-Nya.
  •  
sebagaimana disebutkan kutipan artikel Melasti dalam Parisada Hindu Dharma Indonesia yang dilaksanakan setahun sekali.

Melasti dalam Babad Bali, disebutkan merupakan rangkaian dari hari raya Nyepi dan Melasti juga disebut juga melis atau mekiyis bertujuan untuk melebur segala macam kekotoran pikiran, perkataan dan perbuatan, serta memperoleh air suci (angemet tirta amerta) untuk kehidupan yang pelaksanaannya dapat dilakukan di laut, danau, dan pada sumber / mata air yang disucikan.

Bagi pura yang memiliki pratima atau pralingga seyogyanya mengusungnya ke tempat patirtan tersebut di atas. Pelaksanaan secara ini dapat dilakukan beberapa hari sebelum tawur demikian penjelasan dari artikel Babad Bali.
Perayaan Upacara Melasti yang dikutip dari artikel Radiograf, dilakukan antara empat atau tiga hari sebelum Nyepi. Pelaksanaan upacara Melasti disebutkan dalam lontar Sundarigama seperti ini:
"....manusa kabeh angaturaken prakerti ring prawatek dewata."

Di Bali umat Hindu melaksanakan upacara Melasti dengan mengusung pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala perlengkapannya dengan hati tulus ikhlas, tertib dan hidmat menuju samudra atau mata air lainnya yang dianggap suci.

Upacara Melasti dilaksanakan dengan melakukan sembahyang bersama menghadap laut dan setelah usai dilakukan, pratima dan segala perlengkapannya ditedunkan dari jempana dan diusung kembali ke Balai Agung di Pura Desa masing - masing.

Saturday 4 January 2014

Upacara Otonan "peringatan hari lahir di Bali"

 



Bali memang unik dan menarik bagi semua orang, tidak hanya Bangsa sendiri tetapi juga Bangsa-bangsa di seluruh dunia membicarakan tentang "Bali". Salah satu keunikan yang sudah menjadi tradisi umat Hindu Bali dimanapun berada tidak pernah melupakan prihal; Otonan atau Ngotonin, yang merupakan peringatan hari kelahiran berdasarkan satu tahun wuku, yakni; 6 (enam) bulan kali 35 hari = 210 hari. Jatuhnya Otonan akan bertepatan sama persis dengan; Sapta Wara, Panca Wara, dan Wuku yang sama. Misalnya orang yang lahir pada hari Rabu, Keliwon Sinta, selalu otonannya akan diperingati pada hari yang sama persis seperti itu yang datangnya setiap enam bulan sekali (210 hari).
Bali memang unik dan menarik bagi semua orang, tidak hanya Bangsa sendiri tetapi juga Bangsa-bangsa di seluruh dunia membicarakan tentang "Bali". Salah satu keunikan yang sudah menjadi tradisi umat Hindu Bali dimanapun berada tidak pernah melupakan prihal; Otonan atau Ngotonin, yang merupakan peringatan hari kelahiran berdasarkan satu tahun wuku, yakni; 6 (enam) bulan kali 35 hari = 210 hari. Jatuhnya Otonan akan bertepatan sama persis dengan; Sapta Wara, Panca Wara, dan Wuku yang sama. Misalnya orang yang lahir pada hari Rabu, Keliwon Sinta, selalu otonannya akan diperingati pada hari yang sama persis seperti itu yang datangnya setiap enam bulan sekali (210 hari).
Berbeda dengan peringatan hari Ulang Tahun yang hanya menggunakan perhitungan tanggal dan bulan saja, dengan mengabaikan hari maupun wuku pada tanggal tersebut. Misalnya seseorang yang lahir tanggal 10 Januari, maka hari ulang tahunnya akan diperingati tiap-tiap tanggal 10 Januari pada tahun berikutnya (12 bulan kalender).
Otonan diperingati sebagai hari kelahiran dengan melaksanakan upakara yadnya yang kecil biasanya dipimpin oleh orang yang dituakan dan bila upakaranya lebih besar dipuput aleh pemangku (Pinandita). Sarana pokok sebagai upakara dalam otonan ini ada1ah; biyukawonan, tebasan lima, tumpeng lima, gebogan dan sesayut.
Menurut tradisi umat Hindu di Bali, dalam mengantarkan doa-doa otonan sering mempergunakan doa yang diucapkan yang disebut sehe (see) yakni doa dalam bahasa Bali yang diucapkan oleh penganteb upacara otonan yang memiliki pengaruh psikologis terhadap yang melaksanakan otonan, karena bersamaan dengan doa juga dilakukan pemberian simbol-simbol sebagai telah menerima anugerah dari kekuatan doa tersebut.
Sebagai contoh :
Melingkarkan gelang benang dipergelangan tangan si empunya Otonan, dengan pengantar doa : "Ne cening magelang benang, apang ma uwat kawat ma balung besi" (Ini kamu memakai gelang benang, supaya ber otot kawat dan bertulang besi).
Ada dua makna yang dapat dipetik dari simbolis memakai gelang benang tersebut adalah pertama dilihat dari sifat bendanya dan kedua dari makna ucapannya. Dari sifat bendanya benang dapat dilihat sebagai berikut :
1. Benang memiliki konotasi beneng dalam bahasa Bali berarti lurus, karena benang sering dipergunakan sebagai sepat membuat lurus sesuatu yang diukur. Agar hati selalu di jalan yang lurus/benar.
2. Benang memiliki sifat lentur dan tidak mudah putus sebagai simbol kelenturan hati yang otonan dan tidak mudah patah semangat.
Sedangkan dari ucapannya doa tersebut memiliki makna pengharapan agar menjadi kuat seperti memiliki kekuatannya baja atau besi. Disamping kuat dalam arti fisik seperti kuat tulang atau ototnya tetapi juga kuat tekadnya, kuat keyakinannya terhadap Tuhan dan kebenaran, kuat dalam menghadapi segala tantangan hidup sebab hidup ini bagaikan usaha menyeberangi samudra yang luas. Bermacam rintangan ada di dalamnya, tak terkecuali cobaan hebat yang sering dapat membuat orang putus asa karena kurang kuat hatinya.
Dalam rangkaian upacara otonan berikutnya sebelum natab, didahului dengan memegang dulang tempat sesayut dan memutar sesayut tersebut tiga kali ke arah pra sawia (searah jarum jam) dengan doa dalam bahasa Bali sebagai berikut: "Ne cening ngilehang sampan, ngilehang perahu, batu mokocok, tungked bungbungan, teked dipasisi napetang perahu "bencah" (Ini kamu memutar sampan, memutar perahu, batu makocok, tongkat bungbung, sampai di pantai menemui kapal terdampar).
Dari doa tersebut dapat dilihat makna:
1. "Ngilehang sampan ngilehang perahu" bahwa hidup ini bagaikan diatas perahu yang setiap hari harus kesana-kemari mencari sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup ini. Badan kasar ini adalah bagaikan perahu yang selalu diarahkan sesuai dengan keinginan sang diri yang menghidupi kita.
2. "Batu makocok" adalah sebuah alat judi. Kita teringat dengan kisah Pandawa dan Korawa yang bermain dadu, yang dimenangkan oleh Korawa akibat kelicikan Sakuni. Jadi hidup ini bagaikan sebuah perjudian dan dengan tekad dan keyakinan yang kuat harus dimenangkan.
3. "Tungked bungbungan" (tongkat berlobang) adalah bambu yang dipakai kantihan yakni sebagai penyangga keseimbangan samping perahu agar tidak mudah tenggelam karena bambu bila masih utuh memang selalu terapung. "Perahu hidup ini" jangan mudah tenggelam oleh keadaan, kita harus selalu dapat mengatasinya sehingga dapat berumur panjang sampai mempergunakan tongkat (usia tua).
4. "Teked dipasisi napetang perahu bencah" (sampai di pantai menemui perahu / kapal terdampar). Terinspirasi dari sistem hukum tawan karang yang ada pada jaman dahulu di Bali, yakni setiap ada kapal atau perahu yang terdampar di pantai di Bali, rakyat Bali dapat dengan bebas menahan dan merampas barang yang ada .pada kapal yang terdampar tersebut. Maksudnya supaya mendapatkan rejeki nomplok, atau dengan usaha yang mudah bisa mendapatkan rejeki yang banyak.
Demikian luhurnya makna doa yang diucapkan dalam sebuah upacara otonan bagi masyarakat Hindu Bali yang dikemas dengan simbolis yang dapat dimaknai secara fisik maupun psikologis, dengan harapan agar putra-putri yang menjadi tumpuan harapan keluarga mendapatkan kekuatan dan kemudahan dalam mengarungi kehidupan.